
Responku setelah baca:
KENAPA AKU GAK BACA INI DARI DULU!!!!
Padahal bukunya sudah ada sejak 15 Oktober 2007 dan aku sempat punya e-booknya di tahun 2015, namun baru tergerak membacanya di tahun ini.
What I Like About What I Talk About When I Talk About Running..
Seperti yang aku tulis di post sebelumnya, aku suka baca buku yang menggambarkan isi pikiran dari penulisnya atau seakan-akan penulisnya (jika fiksi). Berhubung ini buku memoir, tentu saja isinya tentang isi pikiran Haruki Murakami, salah satu penulis favoritku (dan beberapa bukunya sudah aku review di blog ini).
Buku-buku Haruki Murakami itu suka ngangkat hal yang aneh-aneh, tabu menurut kita, mungkin hal yang biasa saja di Jepang sana. Salah satu tokohnya hampir pasti ada yang aloner dan ada yang suicide. Nge-judge dari isi bukunya, si Haruki pasti orang yang aneh dan pervert deh, hehehe.
Terlebih kalau sebuah drama Korea atau Jepang yang mengangkat tentang kehidupan seorang penulis, pasti hidupnya kacau dan gak teratur. Kerja lembur berhari-hari, gak sempat mandi, makan seadanya, hidup luntang-lantung, dan seterusnya. Tapi ternyata kehidupan Haruki Murakami gak begitu…
Saat memutuskan menjadi penulis, dia sadar kalau pekerjaan menulis akan memforsir tubuhnya alias merupakan pekerjaan yang toksik. Jika ingin menjalani profesi ini dalam jangka waktu yang lama, harus diimbangi dengan gaya hidup yang sehat. Oleh karena itu olahraga lari beliau masukkan ke dalam rutinitasnya dan sehari-hari memiliki jadwal yang rutin.
Bangun tidur harus pagi, lari pagi, menulis pagi, lalu tidur lebih awal.
Buku ini merupakan catatan-catatan pikirannya saat sedang berlari, saat sedang memacu diri supaya bisa sampai ke garis finish, apa pun keadaannya. Yang aku salut dari Haruki Murakami adalah endurance-nya. Saat berkomitmen atas sesuatu, pasti konsisten dan gak menyerah. Harus tetap lari (gak boleh jalan sedikitpun) dan harus sampai ke tujuan.
Cara Pikir yang Aneh
Aku tetap menganggap cara pikir Haruki Murakami itu aneh, tapi kali ini dalam konteks yang baik. Dia gak masalah loh kalau orang lain menganggap dia aneh, walau di-judge itu tetap menyakitkan. Namun dia belajar kalau harus menerima rasa sakit itu.
“I’ve gradually come to realization that this kind of pain and hurt is a necessary part of life. If you think about it, it’s precisely because people are different from others that they’re able to create their own independent selves. Take me as an example. It’s precisely my ability to detect some aspect of a scene that other people can’t, to feel differently than others and choose words that differ from theirs, that’s allowed me to write stories that are mine alone. And because of this we have the extraordinary situation in which quite a few people read what I’ve written. So the fact that I’m me and no one else is one of my greatest assets.”
Haruki Murakami.
Hurt is the price a person has to pay in order to be independet.
Menerima Kekurangan Diri
Saat usianya 16 tahun, Haruki melihat dirinya sendiri di cermin lalu sadar kalau memiliki banyak kekurangan. Di usia 16 tahun aku juga merasa banyak hal yang kurang: jerawat gak tuntas-tuntas, berat badan berlebih, galau mau kuliah di mana dan hal receh lainnya.
Tapi di momen itu Haruki sadar kalau kekurangan pada diri kalau dicari-cari yang bakal rauwis-uwis bikin listnya. Jadi lebih baik cari tau kelebihan diri di mana dan berusaha memanfaatkan hal itu.
Manteb kan.
Konklusi
Lebih baik tulisan ini masuk ke konklusi saja daripada menjadi rangkuman buku, hehehe. Bagiku buku ini recommended untuk dibaca. Termasuk bacaan yang ringan dan membuat ketagihan untuk membacanya.
Buku ini bikin aku semangat lagi untuk membaca buku lagi (walau belum tentu buku berikutnya bikin semangat, bisa jadi malah bikin ngantuk) dan jadi kangen pakai sepatu lari dan berkeliling kompleks (kayaknya lari-larinya hanya di kepala saja dan bernostalgia dengan isi pikiran).
Ah ya mari kita akhiri post ini dengan salah satu quote yang aku suka :
“It doesn’t matter how old I get, but as long as I continue to live I’ll always discover something new about myself.”
Haruki Murakami.
baru beli bukunya sekitar 2 minggu lalu, jadi semangat pengen baca 😀
Cakeeeppppp
Senang sekali membaca tulisan ini, Kak.
Saya sangat bisa relate, dengan yang kakak keluhkan pada awal tulisan ini, “kenapa tidak dari duluuuuu” (membaca buku seperti ini). Memang, kita perlu melewati masa penyesalan seperti itu, supaya kita dapat menghargai dan mencintai buku yang pada saat ini kita baca haa
Pengen coba baca. Nanti cari di bacaan digital, ah.