Saat Anak Sakit…

Kemarin sore tidak seperti biasanya..

Pas lagi masak tiba-tiba ada hewan yang terbang hiperaktif di dapur. Terbangnya dengan kecepatan tinggi dan jaraknya jauh (bisa diagonal gitu), seperti kecoa tapi aku mah sudah hafal bagaimana pergerakan kecoa. Ini sudah pasti beda.

Si hewan ini gak habis-habis energinya hingga akhirnya bikin aku dan si anak histeris, akhirnya suami yang lagi mandi pun keluar dan berusaha menangkapnya. Oh ternyata itu kupu-kupu yang sedang berusaha keluar dari kepompong. Setelah tau itu jadi gak parno lagi.

Kegemparan pun mereda tapi kok tiba-tiba si anak tampak gusar, ternyata perutnya sakit. Selama kami bersama baru kali ini aku melihat ekspresi dia yang seperti itu. Aku bingung.

Keluhan perut sakit juga bikin aku langsung berpikir apa yang salah dengan yang dimakan hari ini. Dari semua bahan makanan yang Anak makan, kayaknya cuma satu yang statusnya masih masa percobaan yaitu french fries frozen buatan sendiri. Tapi aku juga makan itu dan rasanya enak dan perutku juga nyaman.

Aku makin deg-degan saat si Anak bilang mual dan mau muntah. Tapi mual kok nafsu makannya masih bagus. Demam tidak ada dan sesekali perutnya terdengar krucuk-krucuk, jadi diagnosis sementaranya adalah pencernaan yang kurang lancar et causa belum pup dari kemarin. Hehehe, sembelit dia.

Pas lagi sakit perut itu, tiba-tiba dia minta ke rumah Eyang. Selama di Malang ini, baru kali ini tiba-tiba minta untuk ke rumah Eyang. Aku jadi ngerasa bersalah, apakah si Anak merasa aku kurang peka, kurang perhatian, atau yang lainnya.

Satu hal yang aku yakini sih: Panikku dan kepanikan yang dirasakan oleh Ayah atau Eyangnya pasti bakal beda. Mereka akan punya rasa panik yang lebih besar, empatinya akan lebih besar. Sedangkan aku tidak sebesar mereka karena ada dua faktor. Faktor pertama karena aku ibu sambung (mungkin) dan yang kedua karena profesiku.

Saat aku menjalankan profesiku, setiap hari ada yang datang dalam keadaan sakit atau panik. Salah satu dosen pernah bilang kalau sebagai dokter kita harus berempati kepada pasien, namun harus ada batasnya supaya bisa melakukan pekerjaan dengan baik. Pas masih ko-as atau awal-awal praktek, urusan terbawa perasaan ini menjadi salah satu hal yang harus ditangani. Panik saat menghadapi pasien sakit atau takut menyakiti pasien bisa membuat pekerjaan menjadi tidak optimal. Bahkan ada temanku yang akhirnya gak lulus jadi dokter gigi karena gak tegaan sama pasiennya.

Jadi mau flashback ke tahun 2012 saat Mbah Uti sakit. Omku yang dokter malah yang nampak paling ‘biasa aja’, kayak cuek gitu. Namun pas udah lama berpraktek jadi dokter, memang karakternya jadi seperti ini. Pas orang tuaku atau keluargaku ada yang sakit, saat mendengarkan keluhan mereka kecenderungannya di otak langsung mikir secara sistematis, kira-kira penyebabnya apa, solusinya apa, prognosisnya seperti apa. Alih-alih ngasih ekspresi panik dan khawatir, malah jadinya ngasih ekspresi muka mikir.

Balik lagi ke cerita si Anak sakit. Solusi dari ‘penyakitnya’ ini ternyata hanya diaplikasikan minyak telon, lalu diusap-usap, lalu dialihkan perhatiannya kepada hal-hal yang menyenangkan. Shalat dan makan tetap harus dilakukan, malah jadi ada momen mengajarkan kalau sakit boleh shalat sambil duduk. Alhamdulillah tetap cepat tidur dan pas bangun perutnya sudah tidak ada keluhan lagi.

Eh, tapi kok tadi pagi malah jadi tantrum pas bangun, hehehehe…

2 thoughts on “Saat Anak Sakit…

Comments are closed.