Depresi dan kematian adalah dua kata yang lagi eksis di media sosial belakangan ini. Yang satu di ranah nasional dan yang satu internasional. Yang satu sudah pasti bunuh diri dan yang satunya karena sakit (aku berharapnya beneran karena sakit).
Aku ini aslinya lagi males banget nulis, tapi topik ini rasanya butuh dituangkan. Oooh, seandainya blog itu bisa ditulis hanya mengandalkan pikiran, gak usah pakai senam mata dan jari. Kenapa butuh dituliskan? Karena aku sempat alami masa-masa depresi, sempet juga bosen hidup, dan akhirnya bisa keluar dari situasi itu (setelah bertahun-tahun).
Mulai dari mana ya?
Hidup normal.
Walau judulnya hidup normal, pas dulu ngejalaninnya ya gak berasa normal, banyak ngeluhnya. Manusia emang suka mengeluh. Tapi setelah lewat masa-masa itu jadi terasa kalau di saat itu hidup terasa mudah. Dari kecil sampai kuliah S1 aku lebih banyak tinggal sama Mbah Uti dan Mbah Kakung (meninggal di tahun 2006). Aku tipikal yang kalau pengen sesuatu ya akan berusaha ngedapetinnya, misalnya dalam urusan pendidikan, walau aslinya males banget belajar. Aku cuma belajar pas mau pindah sekolah, penjurusan, dan pas mau kuliah. Jadi nilai rapotku pas-pasan, tapi bisa dapet sekolah & kampus yang diincer.
2010
Aku mulai ko-as dan tiba-tiba ada chaos. Chaos ini sering terjadi, cuma yang ini mulai besar chaos-nya, mulai ganggu. Aku dan adekku akhirnya ngekos di deket sekolah adekku, cuma 3 bulan, abis itu dibujuk untuk tinggal di Bekasi, suatu tempat yang aku kurang suka karena ada banyak hal yang tidak menyenangkan (makanya lebih milih tinggal sama Mbah). Di sini hidupku udah mulai ilang arah. Ke Kampus cuma untuk main-main, ketemu geng Perpus, geng Korea. Hampir setiap perjalanan pulang ke rumah kepalaku sakit. Dulu di blog ini ada tag ‘headache’, karena aku merekam catatan pas lagi sakit kepala.
2012
Dari 2010 udah mendem perasaan gak suka, marah, males, ditambah udah diluar target waktu kuliah padahal masih banyak requirement yang harus dikerjakan. Di sini titik udah mau nyerah kuliah karena rasanya capek banget. Jadi ko-as itu banyak banget yang harus dipelajari, dijadwalin, direncanakan dengan matang-matang, sedangkan chaos yang dari 2010 itu udah menguras pikiran banget.
Puncaknya di tahun 2012, habis lebaran, aku melakukan kesalahan dan seharian diomelin terus-terusan. Dari pagi sampai sore. Kepalaku beneran udah kayak mau meledak. Sampai sekarang, aku masih menganggap itu sakit kepala terhebat. Aku gak biasa merintih kalau sakit, tapi saat itu beneran bikin gak tahan, rasanya pengen dibenturin aja, diudahin aja. Saat itu pikiran udah macam-macam. Tapi karena aku tau gak boleh melakukan hal macam-macam itu, aku butuh survive, akhirnya malam itu aku usung-usung pindahan ke rumah Mbah. Target malam itu cuma untuk bisa tidur.
Di rumah Mbah, ya jadi nyaris jarang ke kampus. Tapi jadi tau kalau Mbah Uti itu sakit. Pas periode ini aku jadi sering ngeblog. Mbah Uti yang minta aku balik ke Bekasi lagi, pada saat itu di saat hampir semua orang ngecap aku anak yang gak baik, cuma Mbah Uti yang bilang aku anak baik. Makanya aku nurut. Balik ke Bekasi juga gak mudah. Saat itu aku dipaksa untuk kasih tau apa aja hal yang bikin gak nyaman, aku cerita, tapi alasanku dianggap mengada-ada.
Kurasa, pada saat kita ngalamin depresi, yang kita butuhkan adalah trust. Bagi kita ‘masalah’ itu real, bukan hal yang mengada-ada. Sekarang pun, setelah aku melihat dari kacamata 5 tahun setelahnya, itu tetap merupakan masalah yang real.
Beda dari yang tahun 2010, di tahun 2012 aku balik ke Bekasi dengan kerelaan hati. Tapi aku harus berbuat sesuatu karena; sakit kepala masih sering muncul, pikiran macam-macam (baca: bosan hidup) juga sering muncul, aku harus lulus kuliah, intinya aku harus menang (tsaaah), akhirnya aku bikin jadwal ke dokter Sp.KJ. Di sana aku bisa cerita semuanya dan si dokter gak bilang kalau itu masalah yang mengada-ada. Dari sana aku dapat obat dan dijelaskan kalau butuh psikoterapi.
Aku lupa obat yang diresepkan apa (dulu sih sempet aku tulis di salah satu post, udah kubinasakan postnya), tapi efeknya manteb lah, bisa bikin mood yang tadinya low banget jadi bagus. Sebenernya mood itu hasil dari kimia-kimia, pas lagi depresi, kimia-kimia di otak lagi jelek-jeleknya.
Sekitar 2006-2007 aku tertarik belajar neuro-linguistic programme, belajar bagaimana cara otak mengolah informasi dan bagaimana dari informasi itu bisa tertanam di alam bawah sadar kita. Aku praktek ini itu sehari-hari dan lumayan lah, dari yang pas SMA moody banget jadi lebih gampang happy. Di awal aku pakai NLP ini untuk membentuk pikiran positif, sayangnya moodku saat itu terlalu ngedrop untuk diajak kerjasama. Kadar kimia yang bikin Happy-nya rendah, makanya aku merasa saat itu butuh ke dokter Sp. KJ supaya dapat obat. Pas moodnya bagus (walau karena efek obat), aku manfaatkan dengan nanemin pikiran yang lebih positif. Kupikir hasil terapi sendiri itu lumayan berhasil, akhirnya gak ke dokter Sp.KJ lagi.
Mbah Uti meninggal akhir tahun 2012, aku lulus dokter gigi akhir tahun 2013. Pas 2013 hidupku lumayan oke sih. Hal yang chaos itu aku anggap sebagai hal eksternal, aku fokus ke diriku aja. Tapi ada lagi hal yang bikin depresi.
2014
Kayaknya hasil sakit kepala kronis itu bikin kemampuan otakku menurun drastis. Aku di kampus kalau ujian biasanya ‘one shot’, cukup sekali kunjungan. Setelah fase depresi yang 2012, aku masih ada 3 ujian lagi. Yang satu bisa ‘one shot’, dua yang lainnya gak bisa sekali kunjungan, hiks. Konsentrasiku parah banget. Setelah lulus, masih kena cobaan di ujian kompetensi. Aku belajar, tapi gak bisa masuk ke otak. Temen-temen yang lain udah pada lulus, aku masih hrs ngulang, untungnya sih gak sendirian. Tahun 2014 juga tamparan bagiku. Sebelumnya aku selalu dapat apa yang kumau, tapi kok malah gagal-gagal mulu.
Fase depresi yang ini lebih karena perasaan worthless. Temen-temen yang lain udah punya achievement macam-macam, aku belom ada apa-apa. Perasaan bosan hidup muncul lagi, tapi gak ada pikiran aneh-aneh. Cuma sempet aku ngalamin kecelakaan tunggal, akunya gak kenapa-napa, tapi mobilnya yang lumayan rusak. Pas waktu itu rasanya ‘ya sudahlah kalau hidup harus berakhir pada saat itu’.
Yang bikin bangkit dari depresi yang saat itu adalah seorang teman. Jadi dia itu aku curhatin terus tentang hidupku yang worthless. Terus tengah malam sampai pagi temenku itu ngomelin aku, tapi omelannya bikin membuka mata, dan jadi lumayan oke.
Yang aku pelajari dari periode ini, saat kita merasa low dan gak berharga, kita harus lihat diri kita dari luar. Banyak lah ternyata yang udah kita lakuin, gak jelek-jeleknya amat. Jangan bandingin diri kita dengan orang lain, karena tiap orang akan punya pace yang beda-beda. Yang jadi pembanding adalah diri kita di masa lalu, yang penting ada perkembangan jadi lebih baik walaupun sedikit.
2015
Di tahun 2015 yang bikin depresi adalah: bingung selanjutnya mau ngerjain apa. Hahahaha. Dari sini muncul BEC, ikutan IHB, pengen eksis ngeblog, punya banyak banget goals. Tapi tetep aja rasanya kurang pas. Aku bingung. Rasanya buntu banget.
Di periode ini juga rasanya udah capek banget. Dari 2010 aku seperti masuk ke dalam labirin, udah tahun 2015 kok masih belum bisa keluar-keluar juga. Karena aku bingung, pengennya ada tempat yang bisa diajak ngobrol, tukar pikiran, hingga akhirnya bisa punya tujuan hidup yang lebih jelas.
2016
Di tahun 2016 aku punya target keluar dari labirin! Dan chaos yang dari 2010 (hhhm, sebenarnya dari sebelum 2010, akhirnya terakhir meletus di bulan Mei 2016, sekarang kondisi tenteram dan damai). Aku pindah rumah baru, yang lumayan bisa dianggap rumah. Baru kali ini punya rumah yang tiap keluar rumah disambut oleh kupu-kupu. Punya dua kucing yang lucu juga..
Depresi masih ada ternyata, tapi minor. Lebih ke cemas. Aku itu galau karena umurku saat itu udah 29 tahun. Yang bikin galau adalah: aku baru tau kalau masa muda itu sampai 40 tahun. Ya Allah, dari baligh sampai 29 tahun lebih banyak kesia-siaan yang kulakukan. Masa muda udah kurang dari 10 tahun lagi (kalau yang dihitung tahun Hijriyah).
Karena galau tentang mengisi masa muda, akhirnya jadi tau apa yang harus kulakukan (inti kegalauan di tahun 2015). Ada prioritas utama, dahulukan prioritas itu dulu. Sekolah lagi? Bukan prioritas. Blog? Bukan prioritas. Goals unyu-unyu? Apalagi, hehehe.
Di tahun 2016, akhirnya aku dapet temen yang bisa diajak ngobrol dan bertukar pikiran (someone to talk to). Sebenernya ni orang nyebelin, tapi dia yang bisa ngasih respon ‘to the point’ walau seringnya pedes, tapi dari situ bisa dapet apa yang kubutuhkan. Penemuan terbaik di 2016: akhirnya aku sadar kalau “the best goal is ONE goal”.
2017
Tahun 2017 juga diawali dengan depresi minor, lagi-lagi tentang cemas. Kali ini karena umurku uda mau 30 tahun aja! Tau lah apa yang bikin galau. Hehehehe. Tapi 30 itu aku anggap sebagai titik di mana aku harus lebih berani milih jalan hidup. Sebelumnya kan banyak pertimbangan. Ada sebuah keputusan yang orang-orang bilang keputusanku itu salah, tapi bagiku bener, dan endingnya itu jadi the best decision ever!
Dari 1 Juni kemarin aku resmi berumur kepala tiga. Sekarang sih rasanya happy. Dari apa yang udah terjadi, udah gak ada yang nyesel-nyesel lagi (kecuali untuk urusan dosa). Aku melihat dunia sekarang berbeda.
Sebelumnya aku terdoktrin tentang bagaimana dunia bekerja.
Dari TK lalu SD, SD lalu SMP, SMP lalu SMA, SMA lalu kuliah, kuliah lalu kerja, kerja lalu menikah, menikah lalu punya anak, lalu punya cicit, lalu punya buyut, dan seterusnya.
Supaya bahagia kita harus kaya, cantik atau ganteng, berbadan bagus proporsional, punya anak pintar, baju bagus, makeup bagus, dan seterusnya.
Jangan diingat urusan kematian, itu begitu menyeramkan. Berharap terus saja untuk panjang umur, lupakan kalau ada yang namanya kematian.
Padahal dunia bekerja seperti ini:
Ujian lalu ujian, lalu kena ujian lagi, kadang ujiannya menyenangkan, kadang ujiannya menyedihkan, kadang ujiannya membuat terlena.
Kapan berakhirnya ujian? Pada saat datangnya kematian.
Cantik atau ganteng itu gak penting.. Yang penting takwa.
Kaya atau miskin juga gak penting.. Yang penting takwa.
Punya hidup yang terlihat ‘perfect’ dan dikagumi banyak orang itu gak penting, kalau gak punya takwa. Karena bisa jadi hidup yang perfect itu ujian.
Dan takwa yang bisa ngasih jalan keluar dari setiap ujian.
Depresi dan Kematian
Dari perjalanan hidupku sendiri, kusimpulkan begini:
- Kenapa kita depresi? Karena kita belum tau bagaimana dunia bekerja.
- Kenapa depresi banyak memicu bunuh diri? Bagi yang belum merasakan, pastinya gak kebayang kenapa bisa sejauh itu pikirannya. Tapi memang berat. Beruntunglah yang masih percaya setelah kematian ada kehidupan lagi, karena ini yang bisa berhentiin pikiran aneh-aneh itu.
- Apakah depresi bisa berpengaruh ke fisik? Tentu saja, sakit kepala itu buktinya. Dan sakit kepala ini gak serta merta hilang dengan minum obat antisakit, ini yang bikin makin parah depresi dan endingnya jadi lingkaran setan.
- Jika kita dicurhatin sama orang yang kemungkinan lagi depresi? Walau ceritanya bagi kita sepele, jangan remehin dia apalagi di-bully. Kasih support. Kadang dengan cara halus, kadang juga harus tegas. Hhhm, yang ini susah sih nentuin kapan harus halus-halus dan tegas.
- Kalau kitanya yang depresi? Coba lihat permasalahan dari luar, berusaha berpikir logis. Kalau memang ada masalahnya ya cari jalan keluar dan kalau aslinya remeh ya eliminasi. Sayangnya di saat depresi saat otak udah dapat logikanya, kadang perasaan yang mendominasi. Di sini peran teman sangat penting. Aku di masa seperti ini aku prefer temen yang bisa bikin mata terbuka, berani bilang kalau aku salah, hal yang kupikirin gak penting, dst. Temen yang tegas lah intinya, karena aku butuh solusi, gak cuma butuh pukpuk manis.
- Tapi…. Dari semuanya apa solusi yang paling manjur? Menurutku kita harus belajar bagaimana dunia ini bekerja. Seperti kalau mau pakai gadget, kita baca guidelines-nya dulu kan? Begitu pula tentang hidup: pelajari guidelines-nya!
Ps. Post ini bukan curcol, karena aku menulis ini saat sudah (merasa) keluar dari kondisi di atas. Sekarang kondisinya sedang baik, Alhamdulillah. Aku nulis ini untuk sharing aja. Semoga bermanfaat. 🙂
Melihat ke kehidupan orang lain yang lebih “menderita” dari kita membuat kita merasa lebih baik dan timbul rasa bersyukur. Misal mengeluh Hujan2 naik mobil kena macet trus diserempet orang, saya langsung merasa lebih baik ketika melihat seorang bapak yang mengayuh sepeda dengan 2 anaknya sambil membawa barang jualan. Hiks semangad mba…
Semangat dooong.. Hehehe
I’m glad you are okay now Nit. Sending lots of kisses from Dublin 😘😘😘😘
Tulisan mb nita surprisingly sangat membantu memahami apa yang sedang terjadi saat ini. Thank you for sharing ♥
Jangan dihapus sih Mbak tulisan ini, hehe. Saya suka banget tulisan ini. Jujur dan mengalir, tulisan ini bagus dengan sendirinya tanpa harus dibagus-bagusi. Justru sebetulnya itu yang susah, lho.
Saya setuju dengan poin bahwa kalau kita sedang depresi itu berarti kita menghukum dan menutup mata terhadap diri sendiri. Ya memang kalau kita terlalu aware dengan pencapaian diri itu namanya cenderung narsis, tapi kalau terlalu ekstrem menutup mata juga nggak baik. Menurut saya menerima diri, baik kebaikan atau keburukan, mesti dilakukan dengan seimbang. Susah sih, apalagi di tengah zaman yang semua orang bisa menunjukkan eksistensi dan prestasinya dengan sangat mudah sehingga mudah juga mengecap diri sendiri tak bisa apa-apa, tapi kalau kita mau, pasti bisa. Saya juga sedang belajar untuk seperti itu kok, hehe.
Gapernah baca guideliness setiap kali mau pake gadget, mungkin ini penyebab aku sering depresi ditiap ada ujian hehe 😁 btw terima kasih mbak, tulisannya sangat mencerahkan 😀
Ada yang bilang dunia itu cuma senda gurau belaka. Bkn hidup yg sesungguhnya. Isinya cuma ujian dan itu yg menentukan lulus nggaknya kita di after life. Jadi kesuksesan bnyk org skrg tdk menjamin yg terakhir ini…Org yg biasa2 saja tp memiliki amalan bnyk dan jiwa yg tenang bisa jadi salah satu yg berhasil…Allah tdk kasih ujian yg kita tdk mampu menanggungnya..semoga bisa menghadapi. Thx for share
Panjang curcolnya, tapi bagus Nit. Memang sepertinya ujung-ujungnya iman sih ya. Ada Allah yang selalu menjadi pegangan dan tujuan. Disamping itu juga perlu hidup di sekeliling orang-orang sholeh/sholehah sebagai teman yang mengingatkan, karena ga ada jaminan bahwa iman kita akan tetap baik atau terus meningkat. Justru lebih banyak turunnya, apalagi kalau sudah terkena depresi.
Bukan curcol ini Mbah, sharing… 🙂
aku pun suka ngalamin kegalauan kalo udah mau ulang tahun Mbak Nita..tulisanmu mencerahkan mbak 🙂
Mencerahkan sekali mbak tulisannya..
Iman dan teman.. Sedih kalau dgr ada org yg meninggal krna bunuh diri..