LIFE: Keluar dari Labirin

Setelah post yang lalu terbit, jadinya ada temen-temen yang open juga pernah mengalami depresi atau sedang mengalami depresi. Sebelumnya yang tau cerita di post itu hanya beberapa orang, baru kemarin aja aku coba tuangkan di blog karena momennya pas dan saat ini aku gak sedang dalam keadaan itu, jadi insyaa Allah bisa lebih objektif. Dari temen-temen yang kasih tau kisah itu, sebagiannya jadi cerita apa yang dia rasain dan nanya-nanya. Yang paling sering ditanyakan adalah kapan butuh ke dokter Sp.KJ atau psikolog dan bagaimana mengatasi depresinya? Aku berusaha menuliskan jawabannya di post ini.

Seperti apa rasanya depresi?

Hhhm, aku coba menganalogikannya ya. Yang kurasain pas di fase depresi adalah seperti terjebak ke dalam labirin yang kompleks, gak jelas bagaimana jalan keluarnya. Di dalam labirin rasanya stuck banget karena yang kita lihat hanya tembok-tembok gelap (atau hijaunya daun kalau labirinnya terbuat dari tanaman, hehehe). Pas baru sebentar berada di dalam labirin, rasanya masih biasa aja, karena masih bisa optimis kalau jalan keluarnya sebentar lagi akan muncul. Oke jika muncul. Tapi kalau ternyata ketemunya jalan buntu gimana? Harus muter cari cara lain, makin butuh banyak waktu, makin stress apalagi yang kita lihat cuma itu-itu aja. Bosen, jenuh, muak.

Karena kita berada di dalam labirin dan gak tau pola labirin itu seperti apa, rasanya labirin yang kita tempati itu adalah yang paling kompleks.

Saat berada di dalam labirin, ada beberapa opsi yang bisa dipilih:

  • Menyerah. Seperti yang dilakukan oleh orang yang bunuh diri.
  • Berpesta di dalam labirin dengan melampiaskannya lewat narkoba, minuman keras, dll.
  • Atau berusaha mencari jalan keluarnya.

Saat mencari jalan keluar aku ibaratkan seperti merangkai puzzle, memecahkan teka-teki, ada clue lalu kita cari jawabannya. Jawaban itu akan menentukan kita harus belok mana setelahnya, lalu ketemu clue lagi, dapat jawabannya lagi, menentukan arah lagi, sampai dapat jalan keluarnya. Melelahkan sebenarnya.

Kapan ke dokter Sp.KJ atau Psikolog?

Pas tahun 2012 aku bisa kepikiran ke dokter Sp.KJ karena memang di kampus ada kuliah Psikiatri, saat itu dijelaskan kapan tanda-tanda butuh konsultasi ke dokter Sp.KJ. Dan kurasa aku udah butuh karena udah sampai ganggu aktivitas, kerjaannya nangis mulu, sakit kepala mulu, pikiran juga udah macem-macem. Bedanya ke dokter Sp.KJ dan Psikolog adalah di obat, Psikolog hanya melakukan psikoterapi, tapi gak meresepkan obat. Saat itu aku merasa butuh obat, tapi obat itu bukan solusi, aku cuma butuh obat untuk naikin mood supaya bisa mikir agak jernih. Setelah itu aku coba cari jalan keluar sendiri, gak pernah konsultasi lagi ke dokter atau psikolog.

Neuro-Linguistic Programme (NLP)

Sekitar tahun 2006-2007, kayaknya The Secret/The Law of Atraction lagi booming. Bagiku The Secret itu nonsense, tapi setelah itu jadi kenal NLP yang menurutku masuk di akal. Jadi di NLP itu kita belajar bagaimana cara kerjanya pikiran. Gimana dari informasi eksternal bisa masuk dan jadi pikiran sadar dan bawah sadar. Pada saat suatu mindset udah masuk ke pikiran bawah sadar, itu udah jadi default set kita, mau orang lain bilang apa pasti akan mental.

Karena cara kerja otak begitu rupanya, pem-bully-an bisa signifikan efeknya. Karena sikap atau kata-kata yang disampaikan makin lama akan masuk ke alam bawah sadar, kalau udah begitu dihapusnya akan susah.

Di sisi lain jika kita tau bagaimana cara kerja otak, kita lalu bisa dong memanipulasi bagaimana cara kita berpikir sendiri. Pilih pikiran yang baik, lalu tanamkan itu terus-menerus sampai masuk ke alam bawah sadar dan jadi default set pikiran kita. Jadi yang dilakukan begini: Saat depresi pikiran yang negatif muncul. Cari pikiran yang positif lalu ditanamkan terus-menerus sampai pikiran negatifnya sirna.

Setelah belajar tentang NLP aku jadi merasa, hey, ternyata Islam itu cocok banget dengan cara kerja otak kita. Kita disuruh berdzikir, mengulang-ulang kata, itu kan supaya apa yang diucapkan itu tertanam dalam pikiran. Dan juga ada Al-Quran ada hadits yang seharusnya kita hafal supaya itu yang jadi default set pikiran kita saat akan berpikir dan melakukan sesuatu. Setelah sadar akan hal itu, aku berhenti belajar NLP dan mulai belajar tentang Islam.

Dan setelah belajar tentang Islam setiap ada clue, aku berusaha cari jawabannya entah dari Al-Quran, hadits, atau dari kajian. Kalau udah dapet yang tepat, aku pakai itu untuk mengganti pikiran negatif yang muncul. Bagaimana prosesnya, insyaa Allah akan kutulis di post berikutnya.

Advertisement

4 thoughts on “LIFE: Keluar dari Labirin

  1. Tetap semangat, Nit. Semoga Allah memberi keberkahan pada setiap langkah ikhtiar dan doa. Kalau yang pernah kubaca-baca, salah satu cara meminimalisir depresi adalah dengan cara “memaafkan” terhadap setiap apa saja yang bisa dimaafkan. Termasuk kesalahan masa lalu, keinginan yang tidak tercapai, kealpaan orang lain, bahkan juga termasuk terhadap diri sendiri. Dengan begitu, setidaknya satu step untuk belajar ikhlas telah kita lewati. Oh iya, maafkan juga ya barangkali aku ada salah-salah kata. 🙂

  2. bu dokter apa kabaaarrr…:))) masalah depresi, pernah ngalamin baby blues syndrome pasca melahirkan anak ke 2: emang yg dirasain itu ga jelas, dada sesek, pengen nangis, ada rasa kecewa, emosi, pengen marah,capek, ampe keppikiran knp hrs pny anak bikin susah-.-‘ solusinya emang dukungan org terdekat.

Comments are closed.