Yang Bikin Analog Unggul Dari Digital

“The most benefit from journal is the ability to help you reflect.”

-Unknown

Menulis jurnal sudah terbukti banyak manfaatnya. Di masa lampau hanya bisa dilakukan secara analog, di masa sekarang bisa dengan cara digital. Aku menggunakan dua-duanya walau on-off, namun inginnya selalu konsisten karena hal ini sangat berguna sekali untuk melanggengkan ingatan di masa depan.

Ada satu keunggulan menggunakan analog daripada digital, dan hal ini baru benar-benar kurasakan sekarang setelah memiliki pengalaman bertahun-tahun menulis jurnal di dua medium.

Menulis secara analog lebih membantu untuk refleksi diri.

Atau dalam bahasa islaminya: muhasabah.

Membuka halaman demi halaman jurnal yang sudah ditulis bertahun-tahun yang lalu bisa membuat kita melihat berbagai hal:

  • Sudut pandang kita di masa lampau. Ada beberapa sudut pandang yang bikin aku merasa ‘keren’ juga ya di masa itu bisa berpikir demikian, ada juga yang bikin aku merasa diriku yang sekarang ini berprogres dari diriku di masa lampau, ada juga yang membuat sadar kalau aku konsisten di satu titik, ada juga yang menunjukkan kalau yang sekarang ini adalah kemunduran dari aku yang di masa lampau. Dan sebagainya.
  • Kejadian-kejadian yang telah dilalui. 36 tahun hidup di dunia pasti sudah banyak hal-hal yang kita lalui, yang kita ingat dalam memori aktif paling hanya segelintir. Menulis jurnal membantu untuk menaikkan kembali ingatan yang sudah terpendam.
  • Preferensi di masa lampau. Asiknya menulis secara analog adalah bisa melihat kembali bagaimana tulisan kita (bentuk dan kerapihan), buku apa yang disukai, pulpen apa yang kita pakai saat itu. Di tahun 2016 aku lagi suka banget pakai buku grid Maruman yang A5 dan pulpen Zebra Sarasa, sekarang preferensiku adalah notebook grid (teteup) tapi ukurannya A6 dan menulis dengan Uniball Jetstream.

Menggunakan aplikasi jurnal, kita bisa dibantu untuk melihat apa yang terjadi di tanggal yang sama namun di tahun yang berbeda. Bisa juga membangkitkan memori dengan cara ini, namun menulis secara digital itu font-nya itu-itu saja, gak ada sentuhan personal tambahan.

Terkadang dalam jurnal yang analog, kita menempelkan ephemera atau semacam kenang-kenangan di dalamnya. Memang bisa juga diabadikan dalam bentuk foto, tapi sensasi taktilnya itu tak tertandingi.

Setelah melahirkan, kemampuan memoriku sangat kacau, Mom’s brain istilahnya. Menulis jurnal secara analog sangat membantu untuk mengembalikan fungsi otakku walau sedikit demi sedikit.

Sebelumnya sudah sempat mencoba dengan digital, namin setelah diketik dalam aplikasi, memorinya langsung menguap, retensinya tidak sebaik menulis dengan pulpen dan kertas.

Di tahun 2024 ini aku lumayan konsisten dalam menulis jurnal, semoga nanti paska lahiran kemampuan otakku gak nge-drop amat.

Oh iya, jurnal yang aku tulis saat bukunya sudah terisi penuh, aku scan, dan disimpan di dalam jurnal digital. Jadi dua-duanya tetap update dan memoriku bisa diakses dari mana saja.


Ps. Post ini ditulis kurang lebih dalam waktu 30 menit, sebelumnya aku menghabiskan waktu 40 menit hanya untuk scrolling Instagram (lalu merasa tidak dapat apa-apa selain keinginan untuk membeli tas dan laptop baru). 🙂

2 thoughts on “Yang Bikin Analog Unggul Dari Digital

  1. setuju banget, ku juga lebih suka nulis jurnal analog, karena terasa lebih personal dan aku suka bagian tempel tempel stikernya (aku suka pakai stiker) hehe

    sekarang sih masih mengupayakan untuk konsisten, tp aduh media sosial kadang jadi penghambat huhu

  2. duh iya banget lagi, nge jurnal, nulis diary itu beneran bikin (merasa) pinter ya
    dan yang jelas, kalau ada masalah kek berasa terurai masalahnya

Comments are closed.